kalender
salju
free music at divine-music.info
Panda main bola
Arquivo do blog
-
▼
2013
(11)
-
▼
Juni
(10)
- Menganalisis KTSP dan Kurikulum 2013
- KONSEP DASAR ANTROPOLOGI
- Analisis Video Tawuran Pelajar dan Analisis Video ...
- Persebaran Islam di Indonesia
- Jurnal “Peran Keluarga dalam Penyimpangan Sosial R...
- Bentuk-bentuk Badan Usaha
- Konsep Pendidikan Ips di Indonesia dan Perkembanga...
- ( Cakupan Konsep Dasar Geografi )
- SEJARAH PERKEMBANGAN IPS SECARA UMUM
- Definisi, Kota, Desa, Perkotaan, Pedesaan serta Pe...
-
▼
Juni
(10)
Quem sou eu
Seguidores
Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 03 Juni 2013
Perkembangan
social studies melukiskan bagaimana pada dunia persekolahan telah menjadi dasar
ontology dari suatu system pengetahuan yang terpadu, yang secara epistimologis
telah mengurangi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih
yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS sejak tahun 1935. Pemikiran tersebut secara tersurat dan tersirat merentang dalam
suatu kontinum gagasan “social studies” Edgar Bruce Wesley (1935) sampai ke
gagasan “social studies” terbaru dari NCSS(1994).
Pemikiran
mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran
social studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu Negara
yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam
bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai
bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang anata lain
dipublikasukan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut untuk pertama
kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang.
Untuk
menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia
secara historis epistimologis terasa sangat sukar karena dua alas an. Pertama,
di Indonesia belum ada lembaga profesionalbidang pendidikan IPS setua dan
sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni
HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda
dan produktivitas akadenmisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada
pertemuan tahunan dan komunikasi antaranggota secara incidental. Kedua,
perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontology ilmu pendidikan
(disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan
atau kelompok pakar yang ditugasi secara incidental untuk mengembangkan
perangkat kurikulum IPS melalui pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidiakan Balitbang Dukbud (Puskur). Pengaruh akademis dan komunitas Ilmiah
bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, terbatas yang
tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan
tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan konstribusi Social
Studies Curriculum Task force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
Oleh
karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan
ditelusuri dari alaur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan,
dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan
dalam bidang itu, yang secara sporadic dapat dijangkau oleh penulis.
Isytilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial),
sejauh yang penulis dapat telusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam seminar
Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut
Laporan Seminar tersebut (Panitia Seminar Civic Education, 1972:2, dalam
Winataputra, 1978:42)ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara
bertukai-pakai (interchangeable), yakni “pengetahuan social, studi social, dan
Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi yang dipilih dan
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar
masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian para siswa akan
dapat menghadapi dan memecahkan masalah social sehari-hari, pada saat itu,
Konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam
wacana akademis yang muncul dalam Seminar tersebut. Kemunculan istilah
tersebutbersamaan dengan munculnya IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dalam wacana
akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar
tersebut dapat dianggap sebagai pilarb pertama dalam perkembangan pemikiran
tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies
darii Edgar Bruce Wesley dalam pertemuan pertama NCSStahun 1937 yang segera
dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik,
pemunculan pengertian IPS dengan mudah diterima dengan seddilit komentar.
Konsep
IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan terjadi pada tahun
1972-1973, yakni dalam Kurikulm Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP
Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang
menjadi pemikir dalam Seminar Civic Educationdi Tawangmangu itu, seperti AChmad
Sanusi, Noeman Somantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan dedih Suwardi berasal dari
IKIP Bandung, adan pengembangan kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai
anggota tim pengembang kurikulum tersebut. Dalam kurikulum SD 8 tahun PPSP
digunakan istilah “pendidikan Kewargaan Negara/studi Sosial” sebagai mata
pelajaran social terpadu. Pennggunaan garismiring nampaknya mengisyaratkan
adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang walaupun tidak di beri label
IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam kurikulum tersebut
digunakan istilah Pendidikan kewargaan Negara yang didalamnya tercakup sejarah
Indonesia, ilmu bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan
Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam Kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS
diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi
Sosial nampaknya dipengaruhi oles pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang
pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar
Menuju Sekolah Komprehensif” yang isinya diwarnai oleh pemikiran Leonard
Kenworthy (1970) dengan bukunya “teaching Social Studies”.
Sedangkan dalam
kurikulum Sekolah menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni (1) studi
social sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk
kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah dan ekonomi
sebagai mata pelajaran major pada
jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi
semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada
jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung, 1973a, 1973b).
Kurikulum PPSP tersebut
dapat dianggap sebgai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang
pendidikan IPS, yakni masuknyakesepakatan akademis tentang IPS kedalam
kurikulum sekolah. Pada tahap ini konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga
bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan Nama Pendidikan kewargaan
Negara/studi social, (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya
digunakan sebagai konsep paying untuk mata pelajarna geografi, sejarah, dan
ekonomi; (3) Pendidikan Kewarganegaan sebagai suatu bentuk Pendidikan IPS
khusus, yang dalam konsep tradisi “social studies” termasuk tradisi citizenship
Transmission (Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Konsep Pendidikan IPS
tersbut kemudian memberikan inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang
dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di
dalam kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1)
Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewarga Negaran sebagai
suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi citizenship
transmission;(2) pendidikan IPS terpadu untuk sekolah dasar; (3) pendidikan IPS
terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep paying yang
menaungi mata pelajaran geogarfi, sejarah, dan ekonomo koperasi; dan (4)
pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi
dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,
1975a; 1975b, 1975c, dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti iyu tetap
dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan
kesempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam
aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam
masing-masing displin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila (P4)sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep
pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yang mendasar.
Dengan berlakunya
Undang-undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana
Pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kulikuler pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994
menggantikan kurikulum 1984, kedua bahan kajian tersebut dilembagakan menjadi
satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara
konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang Pendidikan IPS yang
khusus mewadahi tradisi citizenship transmission dengan muatan utama
butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan
spiral of concept development ala Taba ( Taba: 1967) dan expanding enviromen
approach” ala Hanna (Dufty: 1967) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila
Pancasila.
Di dalam kurikulum 1994
mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran social khusus yang wajib diikuti
oleh smua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMA). Sedangkan mata
pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III
s/d kelas VI; kedua , pendidikan IPS terkofederasi di SLTP yang mencakup materi
geografi, sejarah dan ekonomi koperasi, dan ketiga, pendidikan IPS
terpisah-pisah yang mirip demngan tradisi in social studies taught as social
science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang IPS
terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di
kelas I dan II; Ekonomi dan geografi di kelas I dan II; sosiologi di kelas II;
Sejarah Budaya di kelas III program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara,
dan Antropologi di kelas III Program IPS.
Dilihat dari tujuannya,
setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran
Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk “…menanamkan pemahaman
tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa
kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa
Indonesia, dan memperluaswawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia “
(Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung
esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenshiptransmission” (Barr,
dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan
pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkan dalam pemecahan
masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud,
1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran ekonomi ini bertujuan untuk
“…memberikan bekal kepada siswa menganal beberapa konsep dari teori ekonomi
sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang
dihadapi” (Depdikbud,(1993 : 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat
ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum
maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies
taught as social science (Barr, dan kawan-kawan : 1978).
Tradisi ini nampaknya
diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah
Budaya, dan Antropologi sebagaimana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya.
Mata pelajaran Sosiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami
secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul
seiring dengan perubahan masysrakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya
ketentuan masyarakat, dan mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi social
budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai social yang berlaku di
masyarakat”(Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran Geografi
memusatkan perhatian pada upaya “…untuk memberikan bekal kemampuan dan sikap
rasional yang bertanggungjawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di
muak bumi serta permasalahan yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan
lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata Negara
menggariskan bertujuan “…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami
penyelenggaraan Negara sesuai dengan tata kelembagaan Negara, tata peradilan
Negara sesuai dengan tata kelembagaan Negara, tata pendidikan, system
pemerintahan Negara RI maupun njegara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Hal yang juga tampak
sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang
menggariskan tujuannya untuk “…menanamkanpengertian adanya keterkaitan
perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada
masa lampau dan masa kini” (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan
mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorientasikan pada upaya untuk
“…memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinyakebudayaan, pemanfaatan dan
perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya
menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiiri”, dan pada
akhirnya dimaksudkan juga untuk “…menanamkan kesadaran tentang peranan
kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat setra dampak perubahan
kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat” (Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari
perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam kurikulum sampai
dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep
pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi
“citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran pancasila dan
kewarganegaraandan sejarah nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam
tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah di SMU, yang
terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
Selanjutnya penulis
merasa perlu mengkaji lebih jauh bagaimanaperkembangan pemikiran mengenai
pendidikan IPS ini, bila dilihat dari kajian konseptual para pakar Indonesia.
Dalam pembahasannya tentang “prespektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”.
Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar menganai
pendidikan IPD di IKIP, menyinggung sedikit tentang pengajaran IPS di Sekolah.
Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung
menitikberatkan pada penguasaan kafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada
guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa;
ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar
yang ada; system ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengulit-bawang”;
rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi
pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan , dominannya pelatihan berfikir
taraf rendah, guru yang tidak tangguh, presepsi negative dan prasangka buruk di
masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu social dalam pembangunan
masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya
reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru
agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi
interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang.
Bersamaan iti pula diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana
serta intensif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247)menyarankan
perlunya batasan yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu social
untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan
pengorganisasian tema-tema pembelajaran yang di nilai lebih esensial dan sesuai
dengan kebutuhan dan tuntunan perubahan dalam masyarakat.
Dimensi konseptual
mengenai pendidikan IPS tampaknya telah berulang kali dibahas dalam rangkaian
pertemuan ilmiah yakni Pertemuan HISPIPSI pertama tahun 1989 di Bandung, Forum
Komunikasi Pimpinan FPIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, du
Ujung Padang tahun 1993, Konsevsi pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah
satu materi yang selalu menjadi agenda pembahasan adalah mengenai konsep PIPS.
Dalam pertemuan Ujung Padangtahun 1993, M. Namun Somantri selaku pakar dan
Ketua HISPIPSI (Somantri: 1993) kembah menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana diriumuskan dalam Pertemuan
Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut:
“Versi PIPS Untuk
Pendidikan Dasar dan Menengah
PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi
dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia,
yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk
tujuan pendidikan.
“Versi PIPS Untuk HIPS
dan Jurusan Pendidikan IPS-IKIP
PIPS adalah sleksi dari disiplin
ilmu-ilmu social dab humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir
dan disajiakn secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”
Kelihatannya
HISPIPSI ingin mencoba manjernihkan pengertian PIPS dengan cara mengemukakan
label yang sama, yakni PIPS dengan dua versi pengertian, yakni pengertia PIPS
untuk pendidikan persekolahan dan untuk pendidikan tingggi untuk guru IPS di
IKIP/STKIP/FKIP. Dari dua versi pengertian itu, yang membedakan penulis piker,
dalam format system pengetahuannya. Untuk dunia persekolahan merupakan penyederhanaan, atau sama dengan gagasan
Wesley (1937) dengan konsep “Social
Science simplified…”, sedanguntuk pendididkan guru IPS berupa seleksi.
Naumun, rasanya perbedaannya tidak begitu jelas, kecuali seperti dikatakan
olehSomantri (1993): 8) dalam tingkat kesukarannya sesuai dengan jenjang
pendidikan itu, yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak, sedang di perguruan tinggi disesuaikan denga taraf
pendidikan tinggi. Penjelasan ini menurut penulis terkesan bersifat tautologis.
Kedua versi pengertian PISP tersebut masih dipertahankan sampai dalam Pertemuan
Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri, 1998:
5-6), dan disepakati akan menjadi salah satu esensi dari “position paper” HISPIPSI
tentang Disiplin PIPS yang akan diajukan kepada LIPI.
Jika
dilihat dari pokok-pokok pikiran yang diajukan oleh Numan Somantri selaku Ketua
HISPIPSI (Somantri : 1998)position paper itu
kan menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic knowledge. Oleh karena itu, PIPS untuk tingkat perguruan
tinggi pendidikan guru IPS, direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin
ilmu sehingga menjadi Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat
menjadi PDIPS. Dengan demikian kelihatannya HISPIPSI akan memegang dua konsep,
yakni konsep PIPS untuk dunia persekolahan, dan konsep PSIPS untuk perguruan
tinggi pendidikan guru IPS. Yang masih perlu dikembangkan adalah logika
internal atau struktur dari kedua sisitem pengetahuan tersebut. Dengan demikian
masing-masing memiliki jatidiri konseptual yang untik dan dapat dipahami lebih
jernih.
Tentang
kedudukan PIPS/PDIPS dalam konyeks yang lebih luas tampaknya cukup prosfektif
Misalnya, Dahlan (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis pembangunan
manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Sementara itu Tsauri (1997:
1) yang mengutip pemikiran affian ketika mengenang tokoh LIPI professor Sarwono
Prawiroharjo, melihat peran PIPS dalam presfektip perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di Indonesia, yang seyogyanyamemusatkan perhatian pada upaya
pengembangan disiplin yang kuat,
ketekunan yang luar biasa, integritas diri yang kukuh, wibawa yang mantap, rasa
tanggung jawab yang tinggi, dan pengabdiaan yang dalam.
Dilihat
dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini
pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: pertama, penyederhanaan dari ilmu-ilmusosial, dan humaniora, yang
diorganisasikan secara psiko-pedagigis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan
kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi
pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan
penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari
ilmu-ilmu social, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan
pendidikan professional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konteks dalam
PDIPS.
PIPS
untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik
pedagogis yakni: pertama, PIPS dalam
tradisi “citizenship transmission” dalam
bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan dan Sejarah
Indonesia; dan kedua PIPS dalam
tradisi “social science” dalam bentuk
mata pelajaran IPS terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS terkinfederasi
untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut
terikat oleh suatu visi pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana
digariskan dalam GBHN dan UU No.2/1989 tentang Sitem Pendidikan Nasional.
Perkembangan
pemikiran mengenai PIPS ini amat berpengaruh pada pemikiran PDIPS di IKIP/FKIP/STKIP.
Dalam
konteks pengembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan
IPS” di Indonesia konsep dan praksis pemdidikan demokrasi yang dikemas sebagai
“citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai
salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan
bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam system
pembelajaran “socialstudies” atau “pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsitem
pendidikan demokrasi ini sejak awal perembangannya, seperti Amerika sudah
menunjukan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditunjuk
untuk mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini,sejalan
dengan perkembangan konsep dan praksis demokratis, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian
dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship
education atau civic eduction,atau
untuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah-ubah mulai dari civivs, Kewarga Negara, Pendidikan
Kewarga Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Jika
dikaji dengan cermat dalam konteks perkembangan social studies ternyata citizenship education yang pada dasarnya
berintikan pengembangan warga Negara agar mampu hidup secara demokratis
merupakan bagian yang sangat penting dalam social
studies. Hal ini dapat disimak sejak social
studies mulai diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang
definisinya tentang social studies dianggap
sebagai pilar epistimologis pertama, sampai dengan munculnya paradigma social studies dari NCSS tahun 1994.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral
dari “social studies”.
Bidang
kajian dan program pendidikan demokrasi dalam bentuk kemasan “citizenship
education” maupun “Civic Education” atau pendidikan Kewarganegaraann ini, kini
kelihatan semakin banyak dikembangkan baik Negara demokrasi yang sudah maju
maupun Negara yang sedang merintis atau meningkatkan diri kea rah itu. Hal ini
sejalan dengan berkembangnya proses demokratisasi yang kini telah menjadi
gerakan social-politik dan social budaya yang mendunia.
Menyimak
perkembangan “social studies” secara umum dan pendidikan IPS di Indonesia
sampai satt ini maka perlu adanya reorientasi pendidikan IPS sebagai berikut.
1.
Menegaskan kembali visi pendidikan IPS
sebagai program pendidikan yang menitikberatkan pada pengggembangan individu
siswa sebagai “actor sosial” yang mampu mengambil keputusan yang
bernalar dan sebagai “warga Negara yang cerdas, memiliki
komitmen, bertanggungjawab dan partisifatif”
2.
Menegaskan kembali misi pendidikan IPS
untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode ilmu-ilmu social dan bidang
keilmuan lain untuk mengembangkan karakter actor social dan warga Negara
Indonesia yang cerdas dan baik.
3.
Mamntapkan kembali tradisi pendidikan
IPS sebagai pendidikan Kewarganegaraan yang diwadahi oleh mata pelajaran IIPS
terpadu mata pelajaran ILPS terpisah.
4.
Menata kembali sarana programatik
pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan (Kurikulum, Satuan Pellajaran,
dan Buku Teks)sehingga memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan IPS.
5.
Menata kembali sitem pengadaan dan
penyegaran guru Pendidikan IPS sehingga dapat dihasilkan calon guru dan guru
pendidikan IPS professional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar